Minggu, 10 Oktober 2010

andai jakarta sebening mata inka



ANDAI JAKARTA SEBENING HATI INKA
17 Mei 2013
    D
i sebuah rumah elite di tengah padatnya kota Jakarta, disana terlihat seorang gadis cantik nan ayu bernama Ciara Juliza. Disana dia sedang terduduk berhadapan dengan sebuah kue tart besar yang terlhat begitu mewah. Gadis tersebut menangis dan ia mulai menghembuskan lilin- lilin kecil yang menyala di atas kue tart tersebut. Disela tetes air matanya ia berbisik kecil.
“Selamat ulang tahun, Inka !” ucapnya sendu dengan rasa sedih yang meremuk jantungnya.
Halus hembusan angin yang dihembuskannya tadi seakan mengangkatnya kembali ke masa 3 tahun lalu, dimana saat pertama kalinya ia mulai mengenal kata ‘persahabatan’.

5 Februari 2010
            Di pagi buta, di dalam kamar di sebuah rumah elite di komplek para pejabat dan pengusaha terdengar alarm berdering yang membisingkan telinga penghuninya. Di kamar itu masih tergeletak pulas tak sadarkan diri oleh kerasnya bunyi alarm. Gadis itu adalah Inka Pertiwie Wibowo. Gadis ini tak menyadari bahwa ia sudah hampir telat di hari pertamanya masuk universitas.
“ Sayang, bangun, bisa- bisa kamu telat nanti !” dengan nada lantang, bu Maria (mamanya Inka) membangunkan anaknya.
“Ih.. Mama.. Masih pagi.. ngantuk tau…!” rengek Inka yang sudah ia lontarkan setiap pagi hari pada mamanya.
“Sayang, nanti kamu telat. Kamu bukan anak SMA lagi mulai hari ini,ayo cepat bangun.” Bujuk mamanya.
“Hah !! Inka lupa ! Ya ampun…” Dengan mata yang masih setengah  terbuka dia beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi. 15 menit pun berlalu dengan cepat. Inka telah selesai mandi dan memakai pakaian, maka sekarang ia siap untuk sarapan. Dengan posisi siap tempurnya ia siap menunggu pembantunya selesai menyajikan sarapan untuk keluarganya.
            Akhirnya Inka menyelesaikan sarapannya. Dengan kenyangnya ia duduk santai di keheningan meja makan seakan ia lupa apa tujuannya,yaitu pergi ke universitasnya untuk menjalani kegiatan ospek. Tersadar dari keheningan suasana, ia beranjak setelah ia melihat jam dinding di rumahnya,ia menyadari bahwa waktunya sudah tidak lama lagi untuk segera hadir di universitasnya. Ia berlari keluar rumah dengan panik, sampai- sampai kunci mobil yang tadinya dipegang olehnya justru tertinggal di meja makan. Maka ia kembali ke meja makan dan segera mungkin mengambil kunci mobilnya dan segera tancap gas ke kampusnya.
            Tak terasa 15 menit sudah berlalu Inka pun sampai di kampusnya. Dengan buru- buru ia berlari dari parkiran setelah ia selesai memakirkan mobilnya menuju ke dalam kampus tersebut. Belum lagi sempat Inka menghela napasnya, ia sudah menabrak seorang gadis yang asing baginya. Ia pandangi gadis itu dari atas sampai bawah. Amarahnya pun meledak.
            “Ya ampun, apa sih salah aku hari ini, sial banget kayaknya !” dengan nyaringnya Inka menjerit.
            “Aduh, maafkan saya !” jawab gadis itu dengan menundukkan wajahnya.
            “Maaf sih maaf, tapi saya lagi buru-buru !” dengan suara yang makin nyaring Inka menjerit.
            “Iya, saya tau, maka karna itu maafkan saya !” dengan sopan gadis itu memohon dan terdengar lirih.gadis itu berbicara seakan ingin menangis mendengar gadis di hadapannya membentaknya. Mendengar itu kemarahan Inka pun redam, inka pun memandangi gadis itu dari atas kebawah.gadis cantik dengan rambut hitam tegurai panjang dengan sepatu kets biru dan rok mini serta kaos sederhana.gadis cantik itu meringis kesakitan. Aku pun terus saja memandanginya hingga mata ku tertuju pada lututnya.Tersadar olehnya bahwa lutut gadis itu luka. Luka yang cukup parah.
            “Ya ampun, kamu terluka !” dengan ekspresi panik  Inka bersikap serba salah saat itu. Karena Inka tidak tau dimana letaknya ruang kesehatan, Inka membawa gadis itu ke taman kampus. Setelah duduk di sebuah bangku di taman tersebut, Inka meninggalkanya sebentar untuk membeli obat di apotik yang kebetulan terletak di depan kampus itu. Dengan segera Inka kembali untuk membalut luka gadis itu dengan obat merah dan kasa di tangannya.
            “Aduh, kenapa kamu pake rok pendek sih, kan jadi luka tuh !” kata Inka dengan lembut.
            “Kamu gak masuk ke dalam kampus?” Tanya gadis itu tiba-tiba dengan senyum lembut di bibirnya.
            “Kamu kok senyum- senyum sendiri gitu sih ? Males, udah terlanjur telat soalnya” kata Inka singkat.
            “Iya, iya maaf deh ! kamu juga mau ikut kegiatan ospek juga kan rencananya?”
            “ Iya, kok tau ? kamu ikut kegiatan ospek juga ya ?
            “Ya !”
            “Fiuhh….” Inka menghela  nafas seraya menepuk- nepuk dadanya.
            “Kenapa?” Tanya gadis itu bingung.
            “Syukur deh.. ada temen yang terlambat juga.. hahaha..” jawabnya sambil tertawa kecil.

Usai Inka membalut luka gadis itu, mereka pun berkenalan dan berbincang sejenak. Ciara Juliza nama gadis itu atau biasa dipanggil Cia, begitu Inka akhirnya mengetahui nama gadis itu, begitu pun sebaliknya. Menurut cerita Cia, dia dapat diterima di kampus tersebut atas beasiswa yang diperoleh dari SMA-nya dulu tempat ia bersekolah. Dulunya Cia adalah seorang anak dari sepasang pengusaha dan model, tetapi suatu ketika ayahnya pindah ke Jakarta, perusahaan ayahnya bangkrut. Namun disaat itu ibunya yang seorang model itu justru meninggalkan suaminya dan pergi bersama dengan pria lain yang mungkin lebih bisa memenuhi kebutuhannya hidupnya mulai dari saat perpisahannya dengan suaminya itu. Oleh sebab itu ayahnya Cia jatuh sakit. Ayahnya menderota stroke dan kanker otak yang mungkin disebabkan oleh keterpurukannya setelah ditinggal pergi istrinya. Tapi tidak dengan Cia, gadis itu justru bangkit dan melupakan masa lalunya dan berusaha sekuat mungkin membanting tulang untuk mencari uang yang akan digunakannya untuk penyembuhan ayahnya serta untuk kehidupan mereka sehari- hari.
Di tengah asyiknya pembicaraan diantara mereka terdengar teriakan dari arah belakang mereka. Terlihat sesosok pria berkulit putih, berpostur tegap dan tinggi datang menghampiri mereka. Cowok itu berpakaian layaknya senior yang akan mengospek anak- anak yang akan berkuliah di kampus tersebut.
“Sedang apa kalian disini?” Dengan nada pria tegas dan dewasa.
Saat itu kepanikan Inka sudah sampai di puncaknya dia menundukkan wajahnya dan menutup matanya seakan enggan melihat wajah pria di depannya itu.
            “Kenapa tidak menjawab ? Saat saya bicara tolong lihat saya !” tegas pria tersebut sekali lagi.
Inka pun mulai memberanikan diri untuk melihat pria tersebut. Saat melihat sosok pria tersebut ekspresi Inka pun langsung berubah terkejut. Tak disangka olehnya bahwa pria yang sedang berdiri di depannya itu adalah mantan kakak kelasnya yang dulu terkenal bad boy, dan cuek terhadap semua orang-orang.
            “Kenapa kalian tidak menjawab? Baiklah, ikut saya !”
Suasana tiba-tiba membeku. Inka dan Ciara pun dituntun ke lapangan basket tempat peng-ospek-an anak-anak baru, yang terletak di tengah kampus. Disana kepanikan Inka makin menjadi, suasana seketika menjadi membeku. Wajah Inka menjadi pucat dan pandangannya menjadi gelap. Spontan Inka pun pingsan.
            Siang itu tercium pekatnya bau obat-obatan, perlahan-lahan Inka membuka matanya. Dia merasa asing dengan tempat dimana ia sedang berbaring sekarang.
            “Udah enakan ?” Tanya Ciara cemas.
            “Emmm… ya.” Jawab Inka dengan suara yang agak serak. Inka pun mencoba untuk duduk.
            “Kita dimana ?” Tanya Inka dengan ekspresi bingung
            “Kita ada di ruang kesehatan kampus.”
            “Ooo..”
            “Eh Inka , kamu kenal sama pria itu ya ?” tanya Ciara semangat.
            “Hah ? Pria yang mana ?”
            “Pria yang tadi membawa kita ke lapangan basket.”
            “Oh.. Dia namanya Khairil. Emang kenapa ?” Tanya Inka bingung.
            “Tadi waktu pingsan dia angkat kamu romantis banget !”
            “Hah ? Serius kamu ?”
            “Iya serius ! Emang ada apa diantara kalian ?” tanya Ciara dengan sedikit rengekan.

Inka pun bercerita.Nama pria itu Muhammad Khairil Saktya. Dulu waktu di SMA dia terkenal dengan sifatnya yang jail, bandel, cuekan, namun sangat pintar. Kabarnya waktu kelas satu SMA dia tidak seperti itu. Waktu kelas satu SMA ia dikenal sebagai anak yang rajin baik, dan sangat peduli orang lain. Dia adalah anak kembar tapi katanya waktu liburan kenaikan kelas, kecelakaan melanda mereka.Saat itu dia dan kakaknya jatuh ke dalam jurang. Tapi kakaknya berhasil meraih akar pohon yang cukup besar. Dan khairilberhasil meraih kaki kakaknya. Saat itu kakaknya menyuruh Khairil yang menggenggam kakinya untuk naik ke atas untuk mencari pertolongan. Saat sudah di atas ia melihat sebuah mobil berjalan ke arahnya. Khairil berkata kepada kakaknya untuk bertahan sebentar ,karena sebentar lagi akan ada pertolongan. Saat itu Khairil berlari pontang panting, pikirannya sangat kacau, dia berdiri di tengah jalan bermaksud untuk memberhentikan mobil tersebut. Tetapi saat mobil itu berhenti dia bukannya mendapat pertolongan. Dia malah mendapatkan makian dan cacian dengan rasa ketidakmanusian. orang itu pergi dengan rasa tidak peduli sedikit pun.
Mendapati perlakuan seperti itu Khairil berlari kembali menuju jurang tempat kakaknya berada bermaksud ingin menolong sendiri kakaknya itu. Tetapi saat ia sampai disana ia tidak mendapati lagi sosok kakaknya bergantung di akar pohon besar. Khairil pun menerawang matanya ke dalam dasar jurang. Disana dia dapati jenasah kakaknya terkapar dengan darah segar di sekelilingnya yang mengalir kemana-mana. Saat itu Khairil menjerit histeris dan akibat trauma yang dialaminya sifatnya pun berubah cuek, bandel, dan tidak peduli dengan orang-orang.

            Belum lagi habis cerita Inka tiba-tiba terdengar detakan sepatu menuju ruang kesehatan tempat mereka berada. Saat orang itu membuka pintu, tampaklah sosok Khairil di depan pintu memendangi mereka berdua dengan tersenyum kecil.
            “Sudah enakan ?” tanya Khairil dengan tebaran senyum manisnya yang hampir tak pernah terlihat.Ciara yang disamping Inka berbisik kecil.
            “Sejak kapan dia peduli sama orang ? Jangan- jangan…” sindir Ciara.
Ketika Khairil ingin menginjakkan kakinya masuk ke ruangan tersebut, terdengar seorang pria memanggil Khairil dari kejauhan.
            “Khairil..!! Ngapain disitu..” teriak pria itu.
            “Eh Roby ! ada apa ? ”
            “Ngapain disitu mending kesini cepat ! Di lapangan lagi seru-serunya nih !”
            “ Oh.. oke.. oke.. ‘ntar aku nyusul.” Dan ia pun keluar mengurungkan niatnya  untuk masuk dan menutup kembali pintunya.

            Waktu bergulir sangat cepat layaknya air yang mengalir jatuh dari dataran tinggi ke dataran rendah. Tak terasa dua bulan telah berlalu.Dengan itu persahabatan Inka dan Cia semakin erat layaknya pasangan suami istri yang tak mau dipisahkan. Dan juga anehnya, Khairil yang biasa dikenal penyendiri mulai sering bergabung dengan Inka dan Cia dimanapun mereka berada. Ternyata pria itu sedang jatuh cinta.

            Disaat fajar belum membentang, Inka sudah siap dengan pakaian kuliahnya beserta buku-buku yang selalu ditentengnya. Disaat Inka sedang sarapan tiba-tiba terdengar suara bel menggema ke seluruh ruangan rumah Inka. Inka pun berlari menuju pintu dan segera membukanya. Disana berdiri Cia dengan nafas terengah-engah. Inka menatapnya aneh.
            “Cia, kenapa kamu ? Ayo masuk !” kata Inka dengan ekspresi muka ling-lung.
Di dalam rumah, Cia mengeluarkan secarik kertas dari tasnya.
            “Inka, liat ini !”
            “Apa itu?” Tanya Inka setengah bingung.
            “Ini poster Perlombaan Balet !”
            “Haa.. yang bener? Aku mau ikuut !” histeris Inka.
            “..dan.. tau gak ‘Ka, yang menang dapat hadiah tur perjalanan ke Korea Selatan !”
Saat mendengar itu Inka pun meloncat-loncat hysteria. Ia sangat senang dengan akan diadakannya Lomba Balet yang sangat ia hobikan itu dan dilengkapi oleh hadiahnya ke Korea Selatan sebagai kota indah yang sangat Inka bangga-banggakan. Ditengah kehisteriaannya, ia menoleh kearah Cia. Disana ia dapati Cia sedang menundukkan wajahnya. Disana tampak wajah Cia yang mendung tak seperti biasanya. Melihat itu Inka seketika berhenti meloncat-loncat.
            “Ciara.. kamu kenapa ?” Tanya Inka bingung.
            “Kamu udah liat biaya pendaftarannya ? 5 juta loo..” jawab Cia murung.
            “Emm.. aku ngerti kok. Nanti aku coba bantuin deh !” jawab Inka tersendat-sendat dengan sedikit ekspresi takut. Ciara pun tersenyum kembali mendengar kata-kata Inka.

            Sore membentang indah di kota Jakarta. Di rumah Inka tampak ia sedang berbincang dengan ibunya yang kebetulan jarang berada di rumah.
            “Ma.. Inka kan udah bilang mau ikut lomba balet.”
            “Ya.. Terus kenapa ? Yang biayanya 5 juta itu kan ?”
            “Ya.. Justru itu.. Inka pingin biayanya di-double-in ya ma ?” pinta Inka dengan sedikit rengekan.
            “Hah ? Buat apa ? Mama sih bisa aja ngasihnya. Tapi buat apa ? Coba kamu jelasin ke mama.” Tanya ibunya,sedikit heran.
            “Itu loh Ma, buat temen Inka, namanya Ciara. Kasihan dia !” bujuk Inka lagi.
            “Hah ? Ngapain kamu mikirin temen kamu segala. Gak ! Mama nggak kasih !”
            “Ihh.. Mama.. Mumpung amal ma.. Mama kan banyak uang.. Berapa uang yang mama dapat dari hasil penjualan Tupperware setiap harinya, belum lagi mama juga punya caffe, salon, dan beberapa rumah makan Padang !” tegas Inka panjang lebar.
            “Inka, jaman sekarang gak ada yang gratis ! Pokoknya nggak !” jawab mama Inka dengan nada lantang dan tegas.
Mendengar itu, Inka merasa sedih dan masuk ke dalam kamar. Dia ambil telepon selulerya dan mengirimkan sebuah SMS ke Cia bermaksud mengajak Cia bertemu di taman kota.

            Di taman kota, Inka dan Ciara bertemu untuk membicarakan soal biaya itu. Ciara tampak kacau pikirannya saat mendengar itu,pipinya seketika dibasahi oleh airmata kecewanya.
            “Mungkin aku memang tidak bias ikut lomba itu !” kata Ciara dengan suara menggetar yang menandakan ia sedang menangis dengan begitu sedihnya. Melihat itu, Inka pun mulai berpikir dan ketika ia mendapat ide dengan ketusnya, ia menayabarkan hati temanya itu.
            “Jangan nyerah gitu dong !” Bujuk Inka.
            “Tapi…”
            “Aku bakal bantuin kamu. Kita minta sumbangan aja. Lombanya kan masih satu bulan lagi. Jadi masih ada waktu. Mulai dari hari ini aja ! Gimana?” Bujuk Inka lagi.
Spontan Ciara menghapus airmatanya, dan mereka mulai turun ke jalan-jalan, disana mereka membawa kardus. Meminta-minta dari satu mobil ke mobil yang lain. Saat itu kebetulan Khairil melintas dengan mobilnya. Disana ia dapati Inka dan Cia sedang meminta-minta dari mobil demi mobil. Ia bingung melihat apa yang dilakukan kedua temannya itu.
            “Hei ! Kalian sedang apa?” Tanya Khairil.
            “Eh, mas Khairil. Kebetulan, bantuin kami dong ngumpulin sumbangan.”
            “Hah ? Sumbangan ? Kalian gila ya ? ngapain sih kalian ?” Tanya Khairil.
            “Kalo memang ga mau ngebantuin ya sudah !” Jawab Inka sinis.
Saat itu Khairil yang berada di dalam mobil seketika memarkirkan mobilnya ke pinggir jalan dan keluar dari mobil. Diambilnya kardus yang ada di tangan Inka dan langsung turun ke jalan. Inka yang terkejut terus saja memandangi Khairil yang tiba-tiba mau turun ke jalanan untuk meminta sumbangan. Rasa aneh bertebaran di pikiran inka.aneh rasanya Khairil yang biasanya tidak pernah mau peduli dengan orang lain,bisa berbuat seperti itu.

            Detik, menit, jam, hari, dan minggu bergulir sangat cepat. Tak terasa lomba tersebut hanya tinggal seminggu lagi namun batas pendaftarannya tinggal dua hari lagi. Inka, Cia, serta Khairil berkumpul di taman kota dan menghitung hasil sumbangan yang mereka kumpulkan selama ini.
            “Ya ampun ! Uangnya masih kurang 2 juta lagi, padahal tinggal dua hari lagi pendaftarannya ditutup.” Cemas Inka tak terbayang. Akhirnya memutuskan untuk berpencar, dan kembali meminta sumbangan.namunkali ini di tempat yang lebih ramai lagi. Inka memutuskan untuk mencari sumbangan di Rumah Sakit. Saat Inka ingin meminta sumbangan pada resepsionis, tak disangka yang ada di depannya adalah suster Mery, tetangganya.
            “Eh, tante Mery !”
            “Eh, Inka ! Sedang apa disini ?”
            “Gini loo tante, teman Inka ada yang butuh dana. Boleh minta sumbangan nggak ?” Bujuk Inka dengan gaya manjanya serupa layaknya anak kecil.
            “Hmm.. Kalau Inka mau, donor darah aja ! Bisa dapat bayaran ! Mau ?”
            “Emm.. Banyak nggak imbalannya ? “ Tanya Inka ragu.
            “Lumayan sih. Cuma 500 ribu !”
            “Yah.. Itu sedikit sekali !”
            “jadi inka mau donor apa donk?”
            “apa ke sus,yg bayaran a mahal”
            “Hmm.. Gimana ya?,oh kebetulan.kalau donor ginjal mau ? Inka bisa minta berapapun sama orangnya. Kebetulan ada seorang pengusaha besar sedang membutuhkan donor ginjal.Tapi…”
            “Tapi apa sus ?”
            “Tapi nanti Inka sama sekali nggak boleh merasa kecapekan, dan makanan harus dijaga. Inka yakin.suster takud inka kenapa-kenapa ?”
            “Inka yakin sus ! Tapi janji jangan bilang sama mama ya !”rayuan inka berhasil,suster itu menuntunnya ke ruang pemeriksaan

            Suster Mery dan Inka pergi untuk memeriksa kondisi ginjalnya, setelah diperiksa Inka terlihat sangat cemas menunggu hasilnya di ruang tunggu. Dilihatnya berkali-kali jam dinding, keringatnya terus bercucuran di wajahnya yang mulai kusam akibat seringnya terkena teriknya sinar matahari dan debu-debu serta asap kendaraan. Akhirnya pintu ruangan terbuka, tepat di depan pintu wajah suster itu tak berekspresi. Inka yang melihat itu menjadi sangat takut. Ternyata setelah diperiksa, ginjal Inka cocok dengan orang yang membutuhkan itu. Inka pun dibawa ke ruang operasi.
           
            Sementara itu di tempat lain, Cia dan Khairil mencari-cari kemana Inka pergi. Mereka terus, dan terus mencari. Waktu berjalan, sang senja pun bergulir dengan sang malam. Inka pun sudah selesai dengan operasi pendonoran ginjalnya dan ia juga sudah mendapatkan imbalan atas ginjalnya. Awalnya Inka ingin pergi menemui Cia tetapi Bu Nindy si penerima ginjal ingin sekali bertemu dengan Inka. Terpaksa Inka menemuinya, terjadilah perbincangan yamg cukup lama antara Inka dan Bu Nindy.
            Jam dinding pun sudah menunjukkan pukul delapan malam. Cia dan khairil yang kelelahan mencari Inka terduduk di bangku taman kota untuk melepas keletihan mereka. Tiba-tiba dari kejauhan tampak Inka sedang berjalan menuju ke arah mereka berdua. Wajah Inka terlihat sangat pucat. Inka memberikan uang yang ia dapat untuk Cia. Cia pun menangis tak kuasa melihat sahabatnya yang berkorban demi dirinya. Khairil merasa sangat kagum dan salut dengan Inka. Saat itu dipandanginya terus wajah Inka yang cantik meski sudah kusam di makan hari.

            Keesokan harinya Inka dan Ciara pergi untuk mendaftar lomba. Di depan gedung pendaftaran itu, mereka pandangi poster besar perlombaan balet yang akan mereka ikuti itu dengan rasa bangga. Mereka pun menginjakkan kakinya untuk masuk. Tiba-tiba secara cepat terasa ada tarikan yang sangat kuat. Ternyata seorang pencopet mencuri uang Cia. Larinya sangat kencang. Saat itu Cia yang tak sanggup berlari berteriak sejadi-jadinya. Tetapi itu semua hanya berujung sia-sia karena tak ada satu pun orang yang melintas di sekitar situ. Suasana langsung membeku. Tangis Cia menggelegar, rasa kesal, marah, kecewa, dan sakit hati bercampur menjadi satu hingga meledaklah tangisnya terasa perih lirih menyentuh hati terdengar.
Saat itu mobil Jaguar yang mewah tiba-tiba berhenti di depan mereka. Cia terus menangis. Seorang wanita seketika keluar dari dalam mobil yang ternyata itu adalah bu Nindy.ibu yg pernah di tolong inka waktu itu.Dia bertanya mengapa Cia menangis. Inka pun menceritakan kejadian itu. Mendengar itu bu Nindy merasa iba, ia tersenyum dan mengatakan bahwa ia bersedia menanggung biaya pendaftaran untuk Cia.
            Ternyata bu Nindy adalah yang membuat perlombaan balet tersebut. Inka sangat terkejut mendengarnya. Setelah mendaftar dan mendapatkan segala perlengkapan yang dibutuhkan mereka dengan giat berlatih, berlatih dan terus berlatih untuk bias menampilkan yang semaksimal mungkin. Karena esok hari adalah lombanya mereka berlatih bersama dengan penuh semangat hingga larut malam. Mereka memancarkan keringat-keringat keindahan dan kebanggaan untuk mereka.

            Malam yang bahagia itu berlalu dengan indah. Semakin larut semakin indah. Dan akhirnya fajar membentang indah di pagi ini. Di Balai Sarbini, Jakarta penuh dengan orang-orang penting pencinta balet. Balerina pertama sedang menebarkan aksinya. Begitu pula dengan peserta yang tampil selanjutnya satu demi satu. Hingga akhirnya saat-saat menegangkan tiba, Inka harus tampil di panggung. Setiap gerakan, senyum, dan langkahnya membuat bulu kuduk para penonton merinding serta menggetarkan hati mereka. Tak kalah heboh saat Cia tampil. Setiap mata mengikuti jejek kaki mungilnya dengan gerakan indahnya selayak ballerina terlatih.
            Saat pengumuman tiba, semua peserta memejamkan matanya. Seakan malaikat maut sedang berada di hadapan mereka hendak mencabut nyawa mereka masing-masing. Tetapi suasana itu akhirnya berubah menjadi tepuk tangan dan kehebohan para penonton saat mendengar nama Ciara Juliza dinobatkan sebagai juara pertama dan Inka Pertiwie Wibowo sebagai juara ke-2. Di tengah hebohnya tepuk tangan seketika kepala kepala Inka sangat pusing, wajahnya sangat pucat, pandangannya menjadi kabur dan langsung pingsan di atas panggung. Kebahagiaan Cia dan penonton seakan lenyap. Berubah menjadi rasa cemas terhadap kondisi Inka.
            Di Rumah Sakit terlihat lemahnya tubuh Inka terbaring di atas kasur putih. Mata indahnya tak lagi terbuka, wajahnya sangat pucat seperti mayat. Inka koma, begitu kata dokter. Lantas ibunya pun tak sanggup dan akhirnya pingsan melihat kondisinya anaknya yang sedang terbaring lemah di atas kasur pasien itu. Cia dan Khairil terus meneteskan airmata ke wajah Inka. Khairil membisikkan sesuatu ke telinga Inka
            “Inka, Khairil sayang Inka !” desah Khairil meringis perih.
Saat kata-kata itu selesai diucapkan,inka membuka matanya.
“inka kamu udah sadar nak!!”Tanya ibunya cemas tak terbayang
Inka hanya membalas dengan senyumnya yg masih indah
“boleh inka bicara sama mas khairil dan cia saja?”Tanya inka dengan nada lembut.mendengar hal itu orang tua inka keluar meninggalkan ruangan
“yg pertama buat cia!”
“ya da pa ka!”tangis tak terbendung jatuh terus menerus.inka mengangkat tangannya dan mengusap pipi cia yg basa
“jangan nangis lagi sayang nanti aku juga sedih!”rayu inka dengan nada yg halus sekali
“tapi…….!!”
“cup cup cup…. Uda uda hapus air mata kamu!”
“kamu mau nggak janji sesuatu sama aku?”Tanya inka sambil meneteskan air matanya
“apa aja bakal aku lakuin buat kamu”
“jaga mas khairil baik2 ya!!terus kamu juga harus lebih sukses ya”mendengar itu cia berlari keluar kamar dan terduduk di depan pintu kamar.dia menagis sejadi jadinya.tangisnya tak terbendung lagi ingin mati rasanya dia menangung beban seperti ini.sedangkan di dalam khairil mendekati inka.di belainya wajah indah inka.
“mas… inka saying sama mas khairil!!jadi tolong jaga cia dan mas harus janji harus jadi orang yg sukses!”
“aku janji inka!aku janji!”khairil berdiri dan mengecup kening inka sambil meneteskan air matanya.setelah itu di pandanginnya inka terus terus dan terus.
“inka bolehkan istirahat sebentar?”Tanya inka dengan nada lembut
“tidurlah jika kau lelah”
“terima kasih”
Khairil terus menatapi inka.saat iya menatap jauh kedalam iya taruh tangannya di hidung inka ternyata nafasnya takkan keluar lagi.dia sudah meninggalkan mereka semua
                Khairil melangkahkan kakinya perlahan menuju luar ruangan dengak wajah tampa ekspresi ia berdiri orang tua inka dan cia menatap khairil
“bagai mana nak khairil?”Tanya mama inka,khairil terduduk dan mengelengkan kepalanya di ikuti cucuran air mata.orang tuanya hysteria dan cia pingsan.

           
            3 tahun berlalu. Semua telah berubah, Cia menjadi seorang ballerina terkenal di Korea Selatan,dia juga menikah dengan robi yg ternyata mencintainya. Khairil yang cuek, sekarang menjadi seorang dokter yang ahli dan disegani atas kehebatannya. Ia menjadi orang yang sangat peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Sungguh besar pengorbanan Inka. Kebaikannya bagaikan melukis di awan yang halus dan teduh terasa.
            “Andai saja Jakarta sebening hati Inka !” itu kata terakhirku.
Dengan tangisan Cia terus memandangi langit-langit kota Jakarta seraya memikirkan sahabatnya Inka yang telah mendahuluinya menuju singgasana surga.

***